Potongan sampai dengan 50% untuk pembayaran langsung (T&C Applied)
Hi, TransforMers!
Heboh banget soal anggota DPR yang “dinonaktifkan” sama partainya gara-gara gelombang demo besar Agustus 2025 lalu. Kejadian ini langsung bikin kita semua mikir:
Pada tanggal 21 September 2025, TransforTalks kembali hadir bareng Andreas Calvin Tamara, S.H., M.Sc., seorang advokat dan alumni TransforMe yang menempuh pendidikan hukum sampai ke Leiden University.
Demo besar bulan Agustus 2025 itu dipicu gara-gara rakyat marah dengan rencana kenaikan tunjangan DPR yang dinilai nggak masuk akal.
Klimaks kemarahan publik terjadi saat ada tragedi: seorang pengemudi ojek online ditabrak Kendaraan Taktis (Rantis) Brimob. Alhasil, kemarahan publik bukan cuman ke DPR, tapi meluas juga ke Kepolisian. Belum lagi isu-isu panas lain yang sudah lama bikin rakyat gerah, seperti:
Karena publik marah besar, partai-partai langsung gerak cepat! Partai Nasdem mengambil langkah awal dengan menonaktifkan dua kadernya, Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, dari Anggota DPR-RI per 1 September 2025. Langkah ini kemudian diikuti oleh Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga menonaktifkan Eko Patrio dan Surya Utama (Uya Kuya) di tanggal yang sama.
Tindakan ini memicu perdebatan penting:
Anggota DPR itu abdi rakyat atau abdi partai, sih? Dan, benarkah partai boleh pecat anggota dewan, atau hak itu seharusnya di tangan kita—rakyat yang memilih?
Secara umum, Hak Recall itu adalah hak buat “narik kembali” anggota dewan karena kinerjanya jelek.
Di Indonesia: Hak Recall dikenal sebagai Pemberhentian Antar Waktu (PAW) dan hak ini dipegang sama Partai Politik (sesuai Pasal 239 UU MD3).
Di negara lain (seperti California, Amerika Serikat, dan Taiwan), Hak Recall justru dipegang langsung oleh rakyat!
Seorang Anggota DPR bisa di-PAW (diberhentikan) karena beberapa alasan di UU MD3, dan salah satunya yang terpenting adalah: Diusulkan oleh partai politiknya.
Nah, ini dia poin krusial dari Andreas Calvin: Istilah “Nonaktif” yang dipakai partai itu TIDAK ADA di Undang-Undang MD3. UU MD3 hanya mengenal istilah Pemberhentian Sementara, dan itu pun hanya bisa diberikan KHUSUS untuk Anggota DPR yang berstatus Terdakwa kasus pidana tertentu.
Karena istilah “nonaktif” ini enggak diatur dan enggak dikenal, secara hukum tidak ada konsekuensi apa-apa terhadap Anggota DPR RI!.
Bayangkan, ini mirip kayak skorsing di dunia kerja: kalau karyawan di-skors karena sedang dalam proses PHK, perusahaan tetap wajib bayar gajinya lho!. Kalau partai mau serius dan keputusan “nonaktif” ini punya kekuatan hukum, langkah itu harus ditindaklanjuti secara resmi dengan proses PAW dan penerbitan Surat Keputusan (SK) dari DPR.
Seorang Anggota DPR diberhentikan antarwaktu (Pasal 239 ayat (2) UU MD3) jika:
Dapat dilihat bahwa UU MD3 memberikan kewenangan kepada Partai Politik untuk mengajukan usulan pemberhentian atau memberhentikan anggota partainya.
Istilah “Nonaktif” yang digunakan oleh partai politik untuk anggotanya sejatinya tidak terdapat dalam Undang-Undang MD3. UU MD3 hanya mengenal istilah Pemberhentian Sementara.
Pemberhentian Sementara hanya dapat diberikan khusus untuk Anggota DPR yang menjadi Terdakwa:
Namun, jika anggota DPR tersebut pada akhirnya tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka ia akan diaktifkan kembali. Anggota DPR yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
Sebagai penutup, Andreas Calvin Tamara S.H., M.Sc. menyimpulkan bahwa tindakan “nonaktif” oleh partai politik adalah langkah politis dan tidak memiliki landasan hukum yang jelas dalam Undang-Undang MD3, yang secara eksplisit hanya mengatur mekanisme Pemberhentian Antar Waktu (PAW) dan Pemberhentian Sementara bagi anggota berstatus terdakwa. Kontradiksi ini menyoroti kelemahan sistem di Indonesia: meskipun anggota dewan dipilih oleh rakyat, kewenangan Hak Recall untuk memberhentikan mereka justru berada sepenuhnya di tangan Partai Politik pengusung. Oleh karena itu, agar keputusan “nonaktif” ini memiliki konsekuensi hukum yang sah, ia harus ditindaklanjuti secara resmi melalui proses PAW dan penerbitan Surat Keputusan oleh DPR, yang menjadi cerminan perlunya tinjauan ulang atas mekanisme akuntabilitas wakil rakyat dalam sistem hukum kita.
By Dante K. Wiriadirana
Last edited 1 October 2025